Aku merasa nyaman denganmu. Merasa tentram dan menemukan diriku sendiri tanpa merasa perlu jaim atau menjadi orang yang begitu heroik. Kau selalu menerimaku apa adanya. Selalu membiarkanku menjadi diriku sendiri. Sampai pada akhirnya, aku menemukanmu di dunia maya. Aku senang, bahkan sangat girang menemukan mu lagi. Aku merasa bermimpi tapi nyata. Namun harapan itu patah lagi. Aku hancur tanpa rupa, sebentuk kenyataan pahit yang kutelan sendiri. Kau menolakku, dengan dalih yang tak begitu kupahami. Padahal aku sedang tak menyiapkan hati ini untuk patah.
Yah... aku memang tak memiliki jalan hidupmu kini. Ternyata, kehadiranku hanya mengganggumu, membuatmu muak. Aku tak tahu harus bagaimana untuk memiliki hatimu lagi. Aku, sudah berulang mengatakan aku bersungguh, kau menjawabnya dengan tertawa, seolah itu lucu. Lebih sakit lagi, kau mengganggapnya cuma cerita basi masa lalu. Lalu, tak membalas sms ku, tak menggangkat telponku, dan tak mengizinkanku menemuimu. Maaf, bila aku masih bebal juga sering mengisi wall FB mu ini, yang mungkin membuatmu muak sekali lagi. Yah... aku mungkin yang tak tahu diri. Mencoba mengais-ngais sisa cinta di hatimu, walau telah berulang kau katakan, dulu kita tak pernah punya ikatan. Tapi pernahkan kau ingat, dulu kau sendiri yang katakan bahwa ikatan hanya simbolis saja, formalitas, katamu waktu itu. Tapi aku sedang berusaha mengerti itu kini. Kau mungkin telah berubah. Atau kau telah menemukan pasangan jiwa lain, yang lebih baik dari aku, lalu kau buru-buru berdalih menyuruhku membuka hati. Begitukah? Tapi, apakah kau lupa bahwa aku tak pernah meminta hatiku untuk hanya mencintaimu. Aku hanya ditakdirkan Tuhan jatuh cinta padamu. Hanya takdir. Apa itupun salah?. Kalau itu masih benar, maka izinkanlah aku menyimpan perasaan ini padamu. Hanya menyimpan saja, sampai benar-benar aku menemukan cinta lain dan melupakanmu. Maukah kau izinkan itu?